Bait
al-Mal wa al-Tamwil
![]() |
Disusun oleh:
Kariadin
Muhammad Yunus
Hardianto
Rizal Nurdin
La Ode Ramlan
Dosen Pengampu:
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-AZHAR GOWA
MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
nikmat yang diberikan terutama nikmat sehat sehingga penyusun mampu menyusun
makalah ini, selanjutnya salam dan salawat atas junjungan kita Rasulullah
Muhammad saw yang telah banyak mengajarkan dan memperkenalkan kepada kita
tentang Islam baik dari segi Aqidah, ibadah, akhlak, maupun dari segi muamalah.
Dalam makalah
ini penyusun mencoba mengulas tentang masalah “Bait al-Mal wa al-Tamwil”
Kami yakin dalam penulisan ini masih banyak terjadi kesalahan,
baik dari segi penggunaan kata maupun dari segi penulisan, oleh karena itu kami
harapkan saran dan kritikan dari pembaca baik dari teman mahasiswa maupun dari
dosen yang sifatnya membangun demi perbaikan
makalah kami kedepannya.
Kami mengharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan siapa saja
yang membacanya sehingga ini menjadi amal jariyah bagi kami.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Makassar, 13 Januari 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah......................................................................... 1
B. Rumusan
masalah................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian serta Tujuan dan Fungsi BMT ............................................... 3
B. Sejarah dan Perkembangan BMT........................................................... 6
C. Pendirian, Prospek dan Tantangan BMT .............................................. 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................... 18
B. Saran................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring
berkembangnya perbankan syariah di Indonesia, berkembang pula lembaga keuangan
mikro syariah dengan sarana pendukung yang lebih lengkap. Ketersedian
infrastruktur baik berupa Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, S0P, SOM, IT,
Jaringan dan Asosiasi serta perhatian perbankan khususnya perbankan syariah
mempermudah masyarakat mendirikan BMT. Belajar dari 15 tahun perkembangan BMT,
ternyata BMT yang gugur dan BMT yang tumbuh pesat sangat di pengaruhi oleh SDM,
Modal Kerja, Sistem. SDM sebagai poin pertama menjadi pondasi utama BMT.
Apabila BMT berisi SDM yang memiliki integritas tinggi, kapable di bidangnya,
semangat kerja dan kinerja yang baik maka BMT akan bergerak dan tumbuh dengan
dinamis.
Namun
pergerakan dan pertumbuhannya akan terhambat ketika modal kerja yang dimiliki
tidak memadai. Modal kerja sangat dibutuhkan untuk mengembangkan BMT. Jumlah
pendapatan yang ditargetkan tidak mungkin tercapai jika target pembiayaan (yang
menjadi core business BMT) tidak tercapai. Salah satu faktor pendukung besarnya
volume pembiayaan yang dapat dikeluarkan adalah modal kerja. Sehebat apapun SDM
yang dimiliki BMT, jika tidak didukung oleh modal kerja yang memadai maka SDM
yang baik pun akan goyah karena dihadapkan oleh perolehan pendapatan yang minim
yang tentu juga dikhawatirkan berdampak pada penghasilan mereka dan kepastian
masa depannya.
Maka
timbulah berbagai masalah di BMT terkait SDM. Pengunduran diri karyawan
terlatih adalah hal yang sering muncul karena masalah kesejahteraan. Yang
terberat adalah karyawan menjadi tidak amanah, dana anggota diselewengkan. Maka
tinggalah pengurus BMT menanggung akibatnya. Jika BMT memiliki SDM yang baik
dan modal kerja yang cukup kita bisa lebih berharap kepada BMT dengan kondisi
seperti ini. Namun BMT dengan kondisi seperti ini pun tidak selamanya terbebas
dari masalah.
BMT
tumbuh menjadi lembaga keuangan yang terus berkembang menjadi besar. Namun
suatu saat BMT ini tersadar ketika proses audit dilakukan. Ternyata angka-angka
pada neraca tidak memiliki data pendukung yang memadai. Terjadi banyak selisih
data, yang pada akhirnya menimbulkan biaya baru. BMT ini pun kesulitan
melakukan evaluasi terhadap kinerja keuangan, kinerja marketing dan resiko yang
sedang dihadapinya. Banyak BMT besar yang runtuh karena hal ini. Akar masalah
dari hal tersebut adalah tidak adanya atau tidak dijalankannya sistem. Banyak
sistem yang harus dijalankan oleh BMT. Sistem Operasional Prosedur, Sistem
Informasi (IT), Sistem Marketing, Sistem Operasional Manajemen dan
sistem-sistem lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka kami
merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pengertian serta tujuan dan fungsi BMT?
2.
Bagaimana
sejarah dan perkembangan BMT?
3.
Bagaimana
pendirian, prospek dan tantangan BMT?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian serta
Tujuan dan Fungsi BMT
BMT
merupakan kependekan dari Baitul Mal wa
Tamwil atau dapat juga ditulis dengan baitul
maal wa baitul tamwil. Secara harfiah baitul
maal berarti rumah dana dan baitul
tamwil berarti rumah usaha. Baitul
maal dikembangkan berdasarkan sejarah perkembangannya, yakni dari masa nabi
sampai abad pertengahan perkembangan Islam.
Dimana baitul maal berfungsi untuk
mengumpulkan sekaligus mentasyarufkan dana sosial. Sedangkan baitul tamwil merupakan lembaga bisnis
yang bermotif laba.
Dari
pengertian tersebut dapat ditarik suatu pengertian yang menyeluruh bahwa BMT
merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial. Peran sosial BMT dapat
terlihat pada defenisi baitul maal, sedangkan peran bisnis BMT
terlihat dari defenisi baitul tamwil. Sebagai lembaga sosial, baitul maal memiliki kesamaan fungsi dan
peran Lembaga Amil Zakat (LAZ), oleh karenanya, baitul maal ini harus di dorong agar mampu berperan secara
professional menjadi LAZ yang mapan. Fungsi tersebut paling tidak meliputi
upaya pengumpulan dana zakat, infaq, sedekah, wakaf dan sumber dana-dana sosial
lain, dan upaya pensyarufan zakat kepada golongan yang paling berhak sesuai
dengan ketentuan asnabiah (UU Nomor 38 tahun 1999).
Sebagai
lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor keuangan, yakni
simpan pinjam. BMT mempunyai peluang untuk mengembangkan lahan bisnisnya pada
sektor riil maupun sektor
keuangan lain yang dilarang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan bank.
Karena BMT bukan bank, maka ia tidak tunduk pada aturan perbankan.
1.
Landasan Hukum
BMT
BMT
berasaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta
berlandaskan syariah Islam, keimanan, keterpaduan (kaffah),
kekeluargaan/koperasi, kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme. Secara
Hukum BMT berpayung pada koperasi tetapi sistem operasionalnya tidak jauh
berbeda dengan Bank Syari’ah sehingga produk-produk yang berkembang dalam BMT
seperti apa yang ada di Bank Syariah.
Oleh
karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus tunduk pada Undang-undang Nomor
25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP Nomor 9 tahun 1995 tentang
pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi. Juga dipertegas oleh KEP.MEN
Nomor 91 tahun 2004 tentang Koperasi Jasa keuangan Syariah. Undang-undang
tersebut sebagai payung berdirinya BMT (Lembaga Keuangan Mikro Syariah).
Meskipun sebenarnya tidak terlalu sesuai karena simpan pinjam dalam koperasi
khusus diperuntukkan bagi anggota koperasi saja, sedangkan didalam BMT,
pembiayaan yang diberikan tidak hanya kepada anggota tetapi juga untuk diluar
anggota atau tidak lagi anggota jika pembiayaannya telah selesai.
2.
Tujuan dan
Fungsi BMT
Didirikannya
BMT dengan tujuan meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa BMT berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan anggota
dan masyarakat. Anggota harus diberdayakan supaya dapat mandiri. Dengan
sendirinya, tidak dapat dibenarkan jika para anggota dan masyarakat menjadi
sangat tergantung kepada BMT. Dengan menjadi anggota BMT, masyarakat dapat
meningkatkan taraf hidup melalui peningkatan usahanya.
Pemberian
modal pinjaman sedapat mungkin dapat memandirikan ekonomi para peminjam. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan pendampingan. Dalam pelemparan pembiayaan, BMT harus
dapat menciptakan suasana keterbukaan, sehingga dapat mendeteksi berbagai
kemungkinan yang timbul pada pembiayaan. Untuk mempermudah pendampingan,
penddekatan pola kelompok menjadi sangat penting. Anggota dikelompokkan
berdasarkan usaha sejenis atau kedekatan tempat tinggal, sehingga BMT dapat
dengan mudah melakukan pendampingan.
Adapun
fungsi didirikannya BMT adalah sebagai berikut:
a)
Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisasi, mendorong dan mengembangkan
potensi ekonomi anggota, kelompok anggota muamalatdan daerah kerjanya.
b)
Meningkatkan kualitas SDM anggota dan pokusma menjadi professional dan
islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan global.
c)
Menggalang dan memobilisasi potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan anggota.
d)
Menjadi perantara keuangan antara agnia
(Yang berhutang) sebagai shahibul maal
dengan duafa sebagai mudharib,
terutama untuk dana sosial seperti zakat,
infaq, sedekah wakaf, hibah, dan lain-lain.
e)
Menjadi perantara keuangan antara pemilik dana baik sebagai pemodal maupun
penyimpan dengan pengguna dana untuk pengembangan usaha produktif.
B. Sejarah dan
Perkembangan BMT
1.
Masa Rasulullah
SAW (1-11 H/622-632 M)
Pada
masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal
lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat)
yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun
pengeluaran. Saat itu Baitul Mal
belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang
diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu
habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan
urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima
bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda-nundanya
lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya
masing-masing.
2.
Masa Khalifah
Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu
Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’
(hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at
sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat
dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu
Sa’ad (230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang
sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang
berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya.
Di
tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau
kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana
mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin
kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah
untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul
Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu
Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh)
yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar sesuai dengan kebutuhan seseorang secara
sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.
3.
Masa Khalifah
Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Selama
memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang
halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak
menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774
H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam
Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini
melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin
serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara
orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum
muslimin”.
4.
Masa Khalifah
Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi
yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang
besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam
pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab
Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam
mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan
keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa
pemerintahannya.
Ia
memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi
Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir
serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan Usman
menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan
oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal
sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal,
sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak
kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.”
5.
Masa Khalifah
Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada
posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal,
seperti disebutkan oleh lbnu Katsir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa
menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan
tambalan.
6.
Masa
Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika
Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul
Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola
dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka
pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah
kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.
7.
Sejarah
perkembangan BMT di Indonesia
Sejarah
BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid
Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi
usaha kecil dengan nama Bait at Tamwil Salman dan selanjutnya di Jakarta didirikan
Koperasi Ridho Gusti. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI sebagai sebuah
gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis
Usaha Kecil (PINBUK).
Selanjutnya,
PINBUK lebih dikenal luas sebagai jejaring Ikatan Cendekiawan Muslim
Se-Indonesia (ICMI) dalam soal pemberdayaan ekonomi umat. PINBUK yang tercatat
paling banyak memperkenalkan serta mempopulerkan istilah BMT. Pinbuk pula yang
paling giat mendorong pendirian BMT di berbagai wilayah, disertai dengan
bantuan teknis awal untuk operasionalisasinya. PINBUK banyak mengadakan forum
ilmiah, menerbitkan buku-buku petunjuk teknis, mengadakan pelatihan,
mengembangkan jaringan kerjasama, dan sebagainya yang memudahkan masyarakat
mendirikan dan mengelola BMT secara baik. Bahkan, ada beberapa lembaga keuangan
mikro syariah yang telah beroperasi sebelumnya pun bertransformasi menjadi BMT.
Tonggak
penting lainnya berupa keterlibatan secara aktif dari Dompet Dhuafa (DD)
Republika, suatu lembaga yang menghimpun sumbangan berupa ZIS (Zakat, Infak,
dan Sedekah). Para pegiat DD telah sejak awal melihat konsep gerakan BMT sangat
baik dan bersesuaian dengan visi pemberdayaan yang mereka miliki. Setelah
melalui diskusi intensif dan studi lapangan pada BMT Bina Insan Kamil, DD
menggelar tiga acara pendidikan dan pelatihan (diklat). Diklat pertama
dilakukan di BPRS Amanah Umah di Leuwiliang Bogor pada September 1994. Diklat
kedua digelar di Baitut Tamwil Binama Semarang pada November 1994. dan diklat
ketiga terakhir di Yogyakarta pada bulan Januari 1995. Sebagai tindak lanjut
ketiga diklat tersebut, tumbuh dan berkembang sekitar sekitar 60-an BMT pada
awal 1995 di lingkungan DD, yang kemudian terus dibina dan dikembangkan secara
cukup serius.
Sekedar
informasi, dapat disebut beberapa BMT yang didirikan pada pertengahan tahun
1990-an, yang sampai saat ini masih beroperasi dan mengalami perkembangan yang
sangat baik. Baik yang awalnya terkait Pinbuk, Dompet Dhuafa, Muhammadiyah, dan
ormas lain, maupun yang secara independen didirikan oleh seorang atau
sekelompok orang peduli. Diantaranya adalah: BMT Tamzis, Wonosobo (1992), BMT
Binama, Semarang (1992), BMT Bina Umat Sejahtera, Rembang (1995), BMT Marhamah,
Wonosobo (1995).BMT Ben Taqwa, Purwodadi (1996), BMT At Taqwa, Pemalang (1996),
BMT Marsalah Mursalah lil Ummah, Pasuruan (1997), dan lain-lain.
Berdasar
data Perhimpunan BMT Indonesia, dilengkapi pencermatan atas data PINBUK,
data kementerian koperasi, serta beberapa penelitian terpisah, maka
diperkirakan ada sekitar 3.900 BMT yang operasional sampai dengan akhir tahun
2010. Sebagian BMT yang sebelumnya ada dalam daftar Pinbuk memang tidak aktif
lagi, namun banyak pula yang baru bermunculan. Total aset yang dikelola
mencapai nilai Rp 5 trilyun, nasabah yang dilayani sekitar 3,5 juta orang, dan
jumlah pekerja yang mengelola sekitar 20.000 orang.
Sebagian
besar dari 3,5 juta orang nasabah, yang dalam praktik umumnya disebut anggota
dan calon anggota karena berbadan hukum koperasi itu adalah mereka yang
bergerak di bidang usaha kecil, bahkan usaha mikro atau usaha sangat kecil.
Cakupan bidang usaha dan profesi dari mereka yang dilayani sangat luas, mulai
dari pedagang sayur, penarik becak, pedagang asongan, pedagang kelontongan,
penjahit rumahan, pengrajin kecil, tukang batu, petani, peternak, sampai dengan
kontraktor dan usaha jasa yang relatif modern.
Pertumbuhan
kelembagaan dan jumlah nasabah membawa perkembangan yang pesat pula dalam
kinerja keuangannya. Dana yang bisa dihimpun bertambah banyak, pembiayaan yang
bisa dilakukan naik drastis, dan pada akhirnya aset tumbuh berlipat hanya dalam
beberapa tahun. Pada saat bersamaan, BMT telah memberikan pembiayaan melebihi
dana yang berhasil dihimpun, yang dimungkinkan oleh semakin membaiknya modal
sendiri maupun mulai ada kepercayaan dari bank syariah untuk bekerjasama. Patut
dicatat bahwa seluruhnya diberikan kepada UMKM atau perorangan dari rakyat
berpendapatan rendah.
Dengan
demikian BMT secara faktual berkembang menjadi salah satu lembaga keuangan
mikro (LKM) yang penting di Indonesia, baik dilihat dari kinerja keuangan
maupun jumlah masyarakat yang bisa dilayaninya. Segala kelebihan yang biasa
dimiliki oleh LKM pun menjadi karakter BMT. Salah satunya, sebagaimana banyak
diketahui, LKM lebih tahan terhadap goncangan perekonomian akibat faktor
eksternal Indonesia.
Sejalan
dengan tumbuh dan berkembangnya BMT, maka para penggiat BMT mulai sadar akan
perlunya suatu kebersamaan yang lebih kuat lagi, sehingga lahir lah berbagai
asosiasi. Awalnya adalah asosiasi BMT daerah, seperti asosiasi BMT Surakarta,
Asosiasi BMT Klaten, Asosiasi BMT Wonosobo, dan lain-lainn. Pada tanggal 14
juni 2005, Perhimpunan BMT Indonesia, yang sempat dikenal dengan sebutan BMT
Center, didirikan di Jakarta oleh 96 BMT, yang merupakan asosiasi atau
perhimpunan BMT berskala Nasional yang pertama. Kemudian pada bulan juli 2005,
di Auditorium BMT Bina Umat Sejahtera (BUS) Lasem berdirilah asosiasi BMT Jawa
Tengah. Pada bulan Desember 2005, melalui Kongres BMT Nasional yang dihadiri
oleh BMT-BMT utama diseluruh Indonesia, berdirilah asosiasi Baitul Maal Wat
Tamwil Se-Indonesia (ABSINDO).
C. Pendirian,
Prospek dan Tantangan BMT
1.
Pendirian BMT
BMT
dapat didirikan dan dikembangkan dengan suatu proses legalitas hukum yang
bertahap. Awalnya dapat dimulai sebagai kelompok swadaya masyarakat dengan mendapatkan
sertifikat operasi/kemitraan dari PINBUK dan jika telah mencapai nilai aset tertentu segera menyiapkan diri
kedalam badan hukum koperasi. Secara bersamaan persiapan legalitas kelembagaan
dilakukan bersama-sama persiapan operasional BMT, yang meliputi:
a.
Persiapan modal
awal
Modal
awal untuk pendirian BMT minimal sebesar Rp 10 juta - Rp 30 juta sebagai modal
perangsang hingga Rp 150 juta. Nilai ini berdasarkan perhitungan skala ekonomis
agar BMT dapat beroperasi dengan baik. Modal awal ini diperoleh dari simpanan
pokok anggota pendiri yang besarnya disepakati oleh anggota ditambah dengan
simpanan khusus dari beberapa anggota yang memiliki dana lebih.
b.
Persiapan
infrastruktur
Persiapan
infrastruktur meliputi ruang kantor BMT, peralatan kantor (meja counter, meja
dan kursi, lemari, brankas, komputer, printer, dsb), sistem IT untuk
operasional BMT serta Sistem Manajemen (SOP) alat tulis kantor dan barang
cetakan lainnya.
c.
Persiapan SDM
Kebutuhan
SDM untuk operasional BMT pada tahap awal bergantung pada modal awal BMT. Untuk
tahap awal BMT dengan modal sangat terbatas dapat dijalankan oleh minimal 2
orang karyawan, 3 orang lebih baik namun perlu diperhitungkan beban biaya
overhead BMT terkait dengan penambahan jumlah karyawan. Kualifikasi karyawan
BMT, untuk tenaga administrasi (operasional) diupayakan berlatar belakang
pendidikan di bidang akuntansi. Satu karyawan lainnya sebagai tenaga marketing
sekaligus sebagai manajer yang bertanggung jawab sebagai pimpinan BMT. Sebelum
mulai bekerja, karyawan BMT perlu dibekali dengan pemahaman terhadap konsep
operasional lembaga keuangan syariah serta sistem kerja dan prosedur yang
berlaku. Untuk itu perlu diberikan pelatihan dan magang secara langsung di BMT
yang secara sistem sudah berjalan dengan baik.
Setelah
BMT berdiri maka perlu diperhatikan bahwa struktur organisasi BMT yang paling
sederhana harus terdiri dari badan pendiri, badan pengawas, anggota BMT, dan
badan pengelola. Badan pendiri adalah orang-orang yang mendirikan BMT dan
mempunyai hak prerogatif yang seluas luasnya dalam menentukan arah dan
kebijakan BMT.
Badan
pengawas adalah badan yang berwenang dalam menetapkan kebijakan operasional
BMT. Kebijakan operasional BMT adalah memilih badan pengelola, menelaah dan
memeriksa pembukuan, dan memberikan saran kepada badan pengelola berkenaan
dengan operasional BMT.
Anggota
adalah orang yang secara resmi mendaftarkan diri sebagai anggota BMT dan
dinyatakan diterima oleh badan pengelola. Badan pengelola adalah sebuah badan
yang mengelola BMT serta dipilih dari dan oleh anggota badan pengawas. Sebagai
pengelola BMT, badan pengelola biasanya memiliki struktur organisasi
tersendiri.
2.
Prospek dan
Tantangan BMT
Kehadiran
BMT merupakan sebuah media untuk terwujudnya kemaslahatan ummat. Bagi kalangan
tertentu seperti cendikiawan atau ulama mungkin telah mengetahui BMT, tetapi
bagi masyarakat awam pengetahuan tentang BMT masih kurang. Penyebabnya adalah
lemahnya sosialisasi tentang BMT itu sendiri. Melihat kinerja yang telah ada
sekarang ini, BMT memiliki kemungkinan besar untuk dikembangkan dalam skala
nasional.
BMT
merupakan basis bagi lembaga keuangan mikro . pada BMT, nasabah berusaha di
didik untuk dapat melakukan hubungan dengan lembaga keuangan modern. Nasabah
kecil bisa langsung dilayani oleh BMT. Sebagai lembaga keuangan mikro berbasis
syariah, BMT sangat berperan penting dalam memberikan rasa aman bagi masyarakat
yang memang membutuhkan tata cara bermuamalah yang sesuai dengan prinsip
syariah.
Keberadaan
BMT diharapkan mampu mempunyai efek yang sangat kuat dalam mengurangi
ketergantungan pengusaha kecil dari lembaga-lembaga keuangan informal seperti
rentenir yang bunganya relatif lebih tinggi. Pemberian pembiayaan sedapat
mungkin dapat memandirikan ekonomi usaha kecil. Selain itu dengan kehadiran BMT
diharapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan dana untuk usaha bisnis kecil
dengan mudah dan bersih, karena didasarkan pada kemudahan dan bebas bunga/riba,
memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah. Lembaga untuk
memberdayakan ekonomi ummat, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan
produktivitas.
BMT
telah terbukti dapat memberdayakan masyarakat kelas paling bawah secara
signifikan. Dalam satu dasawarsa pertama (1995-2005), di Indonesia telah tumbuh
dan berkembang lebih dari 3.300 BMT, dengan aset lebih dari Rp 1,7 triliun,
melayani lebih dari 2 juta penabung dan memberikan pinjaman terhadap 1,5 juta
pengusaha mikro dan kecil. BMT sebanyak itu telah memperkerjakan tenaga
pengelola sebanyak 21.000 orang.
Dalam
perkembangan BMT tentunya tidak lepas dari berbagai kendala. Adapun
kendala-kendala tersebut diantaranya:
a.
Akumulasi
kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi BMT.
b.
Adanya rentenir
yang memberikan dana yang memadai dan pelayanan yang baik dibanding BMT.
c.
Nasabah
bermasalah.
d.
Persaingan tidak
Islami antar BMT
e.
Pengarahan
pengelola pada orientasi bisnis terlalu dominant sehingga mengikis sedikit rasa
idealis.
f.
Ketimpangan
fungsi utama BMT, antara baitul mal
dengan baitutamwil.
g.
SDM yang kurang
memadai.
BMT
secara umum telah terbukti berhasil menjadi lembaga keuangan mikro yang andal.
Kemampuannya untuk menghimpun dana masyarakat terbilang luar biasa, mengingat
mayoritas anggota dan nasabahnya adalah pelaku usaha berskala mikro, yang
selama ini tidak diperhitungkan oleh perbankan sebagai sumber dana. Dengan
mengembangkan kemampuan menabung mereka, ketahanan masyarakat dalam menghadapi
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat mendesak seperti sakit, musibah maupun
kebutuhan mendesak lainnya menjadi semakin kuat. Mereka pun mulai belajar
mengakumulasikan modal bagi peningkatan kapasitas bisnis, atau pembuatan bisnis
baru. Sementara itu, perkembangan pembiayaan yang diberikan pun terbilang
spektakuler. Rasio financing to deposit ratio (FDR), yang umumnya mendekati
atau lebih dari 100%, menunjukkan bahwa dana yang dihimpun dari anggota dan
nasabah dapat disalurkan sepenuhnya. Tak jarang, BMT memerlukan tambahan dana
dari sumber lain, seperti perbankan syariah.
Jati
diri BMT yang paling pokok adalah identitas dan ciri keislamannya. Secara
historis, pendirian dan perkembangan gerakan BMT selalu berkaitan dengan
nilai-nilai Islam dan respon atas kondisi umat Islam. Para pegiat pun berupaya
mengedepankan berbagai identitas keislaman dalam operasionalisasi BMT, termasuk
dalam proses dan kinerja sebagai badan usaha yang melaksanakan prinsip-prinsip
syariah. Secara penamaan, lembaga beserta produk-produknya, mengesankan citra
Islami. Konsekuensi logis dari semua itu, BMT harus bertanggungjawab untuk
istiqamah terhadap citra diri yang demikian. Tidak saja kepada stakeholder yang
bersifat sosiologis, melainkan juga bertanggung jawab kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala.
Perkembangan
BMT yang pesat diiringi pula oleh semakin besarnya tantangan yang dihadapi.
Tantangan internal terpenting diantaranya adalah: soal kepatuhan syariah (syariah
compliance), soal mempertahankan idealisme gerakan, soal profesionalisme
pengelolaan, soal pengembangan sumber daya insani, dan soal kerjasama antar
BMT. Sementara itu, tantangan eksternal yang utama adalah dinamika
makroekonomi, masalah kemiskinan yang masih menghantui perekonomian Indonesia,
dinamika sektor keuangan yang belum menempatkan keuangan mikro sebagai pilar
utama, serta masalah legalitas dan regulasi untuk BMT.
Musyawarah
nasional BMT Center April 2010 menetapkan suatu cetak biru yang dinamakan
“Haluan BMT 2020” dengan tujuan mengidentifikasi tantangan utama yang akan
dihadapi oleh gerakan BMT pada sepuluh tahun mendatang. Haluan memuat
penjelasan tentang jati diri BMT, semacam identitas dan citra diri yang
melandasi operasi BMT serta menginspirasi para pegiatnya. Haluan juga
mengetengahkan sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas,
sehingga para stakeholder dalam kegiatan pengembangan usaha BMT dapat memiliki
pedoman untuk menyelaraskan aktivitasnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau
Balai Usaha Mandiri Terpadu adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan
dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka
mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin,
ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat
dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salaam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan
kesejahteraan.
BMT didirikan dengan berasaskan pada
masyarakat yang salaam, yaitu penuh
keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.BMT bersifat terbuka,
independen, tidak partisan, berorientasi pada pengembangan tabungan dan
pembiayaan untuk mendukung bisnis ekonomi yang produktif bagi anggota dan
kesejahteraan sosial masyarakat sekitar, terutama usaha mikro dan fakir
miskin.Peran BMT di masyarakat, adalah sebagai :
1.
Motor penggerak
ekonomi dan sosial masyarakat banyak.
2.
Ujung tombak
pelaksanaan sistem ekonomi syariah.
3.
Penghubung
antara kaum aghnia (kaya) dan kaum dhu’afa (miskin).
4.
Sarana pendidikan informal untuk mewujudkan
prinsip hidup yang barakah, ahsanu ‘amala, dan salaam
Sedangkan Fungsi BMT di masyarakat, adalah : Meningkatkan kualitas SDM
anggota, pengurus, dan pengelola menjadi lebih profesional, salaam (selamat,
damai, dan sejahtera), dan amanah sehingga semakin utuh dan tangguh dalam
berjuang dan berusaha (beribadah) menghadapi tantangan global. Mengorganisir
dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh masyarakat dapat
termanfaatkan secara optimal di dalam dan di luar organisasi untuk kepentingan
rakyat banyak.
Mengembangkan kesempatan kerja.
Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk
anggota.Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa
ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan
syari’ah bagi usaha kecil dengan nama Bait at Tamwil Salman dan selanjutnya di
Jakarta didirikan Koperasi Ridho Gusti. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh
ICMI sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindak lanjuti oleh Pusat
Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK).
B. Saran
Setelah
mengangkat judul makalah kami yang membahas BMT. Maka kami dari penulis
mengharapkan adanya pembahasan yang lebih dalam lagi demi melengkapi kekurangan
penyajian isi makalah kami. Kami melihat bahasan ini masih banyak memiliki
kekurangan, dari itupulah kami menunggu saran dan kritik dari teman-teman
ataupun yang membaca makalah kami. Dan jika dari penulisan kami bayak kesalahan
dengan senang hati kami menunggu masukannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz,
Abdul. Kapita Selekta Ekonomi Islam
Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2010.
Soemitra,
Andri M.A. Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah, Jakarta: Kencana prenada media group, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar