Kata Pengantar
Segala puja dan puji bagi Allah Swt, Dzat penguasa seluruh
alam jagat raya. Teriring pula salawat dan salam semoga selalu tercurahkan
kepada Rasulullah Muhammad SAW. Amin. Sebagai wujud ikhtiar untuk meningkatkan
pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan mahasiswa STAI AL-AZHAR GOWA.
Saya menyusun makalah
ini berdasarkan kitab-kitab fiqih yang menganut madzhab syafi’i yang insya
Allah bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Saya berterima kasih Pula
kepada semua pihak yang ikut membantu untuk terselesainya makalah tersebut
Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
pembaca yang budiman sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini pada
masa yang akan datang
Demikian pentingnya mata kuliah Fiqh Ibadah bagi Saya mahasiswa
STAI Al-Azhar Gowa, maka perlu diadakan makalah yang mampu merangsang
kreativitas para mahasiswa, khususnya diri saya sendiri. Semoga kehadiran
makalah ini dapat memberi manfaat bagi saya khususnya dan umum bagi kita semua dalam menjalankan aktivitas
belajar-mengajar.
Makassar
01 Februari 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Siyasah dalam peradaban kaum muslim
mengatur berbagai bentuk tentang tata cara memimpin, dan membangun
pemerintahan. Peradaban Islam tidak akan dapat tegak sempurna tanpa adanya
negara yang cocok baginya, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Sistem politik
Islam yang disebut dengan Siyasah di pandang sebagai sebuah proses yang
tidak pernah selesai. Ia senantiasa
terlibat dalam pergulatan sosial dan budaya.
akta tersebut berlangsung selama perjalanan sejarah ummat Islam.
Meskipun demikian nilai siyasah tidak serta merta menjadi relative karena ia
memiliki kemutlakan yang terkait keharusan untuk mewujudkan keadilan, rahmat,
kemaslahatan dan hikmah
Siyasah secara garis besarnya terbagi menjadi dua yaitu
Siyasah Wad’iyyah ialah siyasah yang
dikenal berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat dalam
mengatur hidup manusia bermasyarakat dalam Negara. Yang kedua, Siyasah Syar’iyyah yaitu siyasah yang
berdasarkan syara’ yang mengikut etika agama,
moral dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur
manusia hidup bermasyarakat dan bernegara dalam Islam. Akan tetapi dalam hal
ini Islam lebih mengacu pada siyasah syar’iyyah
dari pada siyasah wad’iyyah, karena
di anggap bertentangan dengan ajaran Islam sehingga kurang diterima
keberadaanya oleh kaum muslimin.
Siyasah didalamnya juga mengatur hubungan antara manusia
dengan manusia, manusia dengan lembaga, lembaga dengan lembaga, maupun Negara
dengan Negara dengan ketentuan syariat Islam. Mayoritas ulama sepakat mengenai
keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara. Siyasah atau pemerintahan
sudah ada pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw. Siyasah Syar’iyyah dalam Islam yang berkenaan dengan pola hubungan antar
manusia yang menuntut terbagi menjadi tiga, yaitu siyasah dusturiyah, dauliyah
dan maliyah Untuk lebih jelasnya pemakalah akan memaparkan dalam makalah ini
dengan tema filsafat hukum Siyasah.\
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
itu Filsafat Hukum Siyasah.?
2. Siyasah
Politik.?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Apa itu Filsafat Hukum
Islam
Sejarah awal berdirinya suatu Negara
Islam adalah pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Dalam kepemimpinan
Rasulullah Siyasah Syar’iyyah telah
dilaksanakan untuk mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosial
budaya yang diridhai Allah SWT. Pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah merupakan
suatu Negara yang memenuhi persyaratan persyaratan Negara dalam system
pemerintahan dan ketatanegaraan di zaman modern yang memiliki wilayah
kekuasaan, penduduk, pemerintahan, rakyat, dan konstitusi.
Fakta sejarah yang tidak dapat
diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian
terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang
membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan
kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang
sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan
ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara
umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang
dinamakan sebagai bangunan masyarakat ‘politik’. Atau yang dinamakan sebagai
‘negara’.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang
terjadi setelah Rasulullah menetap di Madinah merupakan nilai dasar fiqh
siyasah syar’iyyah. Dalam kedudukanya sebagai kepala Negara, kebijakan
Rasulullah SAW. Merupakan pelaksanaan fiqh siyasah syar’iyyah. Salah satu
contohnya adalah kebijakan yang dibuat Rasululllah SAW. Berkenaan dengan
persaudaraan intern kaum muslimin antara kelompok muhajirin dengan kelompok
Anshar. Kemudian perjanjian eksteren antara komunitas muslim dengan komunitas
non muslim.
Persoalan siyasah yang pertama dihadapi
kaum muslimin setelah Rasulullah wafat adalah suksesi politik. Pada masa
khulafaurasyidin dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala Negara yang
dikenal dengan sebutan khalifah dan dengan berbagai kriteria yang sesuai dengan
sosio historis yang ada. Dikarenakan sebelum Rasulullah wafat belum menentukan
siapa yang akan menggantikannya. Setelah Rasulullah wafat, pengendalian dan
pengarahan kaum muslimin di pegang oleh shahabat Abu Bakar. Sejarah menunjukkan bahwa khalifah berfungsi sebagai kepala
dan pemimpin agama dan Negara, pada masa kepemimpinan khlaifah empat pertama
sejarah mencatat bahwa fungsi khalifah hanya sebagai pemimpin Negara, terutama
setelah munculnya konsep Sultan dan Syaikh
1.
Pengertian Siyasah dan Macamnya
Siyasah berasal dari kata ساس، يسوس ،سياسة (mengatur, mengendalikan, mengurus, atau
membuat keputusan), atau ساس
القوم (mengatur kaum, memerintah dan
memimpinnya). Oleh karena itu, berdasarkan pengertian bahasa siyasah berarti
pemerintahan, pengambilan keputusan, pengurusan, pengawasan. Pengertian siyasah
di atas secara tersirat berarti:
“Memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemashlahatan”
Sedangkan pengertian siyasah secara
istilah menurut Ibn ‘Aqil sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim yang mentarifkan:
“Siyasah
adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan
dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan
Allah SWT. Tidak menentukannya”
Dari pengertian siyasah di atas baik
secara bahasa maupun istilah, maka dapat diketahui bahwa objek kajian siyasah
meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga Negara dengan warga Negara,
warga Negara dengan lembaga Negara, lembaga Negara dengan lembaga Negara baik
yang bersifat intern suatu Negara atau yang bersifat eksteren suatu Negara
dalam berbagai bidang. Sedangkan menurut Abdul Wahab Khalaf
Yang termasuk objek pembahasan
siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal
kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan
realisasi kemashlahatan manusia serta memenuhi kebutuhanya.
Berkenaan dengan luasnya objek
kajian fiqh siyasah, maka dalam tahap perkembangan siyasah dikenal beberapa
pembidangan fiqh siyasah yang berkenaan dengan pola hubungan antar manusia yang
menuntut pengaturan siyasah, dalam hal ini siyasah dibedakan menjadi tiga
yaitu:
a. Siyasah Dusturiyyah
Siyasah
Dusturiyyah, adalah siyasah yang mengatur
hubungan warga Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan warga Negara dan
lembaga Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu Negara.
Permasalahan di dalam siyasah dusturiyah adalah hubungan antara
pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan dalam
masyarakatnya. Ruang lingkup pembahasan siyasah dusturiyah itu sendiri dibatasi hanya dalam pembahasan tentang
pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari
segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi
kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhanya. Kata “dusturi” berasal dari bahasa persia. Semula artinya adalah seorang
yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama.
Sumber-sumber siyasah Dusturiyah
diantaranya ialah:
1)
Al-Quran, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan
prinsip-prinsip kehidupan masyarakat.
2)
Hadits, terutama yang berhubungan dengan imamah dan
kebijaksanaan Rasulullah dalam menerapkan hukum Negara.
3)
Kebijakan-kebijakan khulafarasyidin dalam mengendalikan
pemerintahan.
4)
Ijtihad ulama.
5)
Adat suatu kebangsaan suatu bangsa yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip Alqur’an dan Hadits.
b. Siyasah dauliyah
Siyasah
dauliyah
mengatur hubungan antara warga Negara dengan lembaga Negara dari Negara
yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara dari Negara lain. Dalam
hubungan Internasional asas damai merupakan asas hubungan international,
alasanya adalah perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak
kezaliman, menghilang fitnah, dalam rangka mempertahankan diri. Konsekuensi
dari asas damai sebagai hukum asal dalam hubungan internasional adalah
perdamaian saling membantu dalam kebaikan. Maka:
1) Perang
tidak akan di lakukan kecuali dalam keadaan darurat
2) Orang yang tidak ikut berperang
tidak boleh diperlakukan sebagai musuh
3) Segera me nghentikan perang apabila salah satu pihak
cenderung kepada damai
4) Memperlakukan tawanan perang dengan
cara manusiawi.
Subjek hukum dalam siyasah dauliyah
adalah Negara, setiap Negara mempunyai kewajiban. Kewajiban terpenting adalah
menghormati hak-hak Negara lain dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat.
Semua Negara yang ada di dunia ini adalah bertetangga, karena itu dalam hubungan
antar Negara diterapkan kewajiban menghormati Negara sebagai tetangga Negara
kita. Landasan dari kewajiban tersebut adalah:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.
Sedangkan mengenai perjanjian antar Negara yang
diistilahkan dengan al-ittifak (kesepakatan) terdapat syarat-syarat tertentu
yang mengikat suatu perjanjian
Sedangkan mengenai perjanjian antar Negara yang
diistilahkan dengan al-ittifak (kesepakatan) terdapat syarat-syarat tertentu yang
mengikat suatu perjanjian.
a.
Yang mengadakan perjanjian memiliki kewenangan.
b.
Kerelaan dari kedua belah pihak.
c.
Isi perjanjiannya dan objeknya tidak di larang oleh syariat
islam.
d.
Penulisan perjanjian
e.
Menaati perjanjian
Hubungan internasional dalam peperangan
juga diatur dalam siyasah dauliyah ini, dalam kondisi perang keadaan
darurat itu sangat nyata pilihanya hanya
dua membunuh dan dibunuh. Itulah hukum perang yang nyata hanya saja kaum
muslimin yang berjihad fisabilillah tahu persis sesuai dengan pandangan
hidupnya, untuk agama dia berperang, dan apa makna syahid di medan perang,
karena itu sangat penting untuk diketahui kenapa perang harus terjadi:
Ø Perang dalam islam untuk
mempertahankan diri.
Ø Perang dalam rangka dakwah.
Ø Perang untuk melindungi hak Negara
yang sah yang dilanggar
oleh suatu Negara lainnya tanpa
sebab yang dapat diterima.
Sedangkan menurut Ali Mansur perang
tidak sah jika suatu peperangan itu bermaksud untuk memperluas wilayah,
perluasan pengaruh, dan keinginan untuk menduduki dan menguasai Negara lain.
Peperangan dalam siyasah dauliyah disertai dengan aturan aturan yang dibenarkan
dalam Islam, diantaranya yaitu:
Ø Adanya pengumuman perang yang
memungkinkan sampainya berita itu kepada musuh.
Ø Adanya etika dan aturan dalam
peperangan seperti dilarang membunuh anak-anak, dilarang membunuh wanita-wanita
yang tidak ikut berperang juga dilarang memperkosa.
Ø Dilarang membunuh orang yang sudah
tua apabila orang-orang tua itu tidak ikut berperang.
Ø Tidak merusak pohon, sawah, dan
lading.
Ø Tidak merusak binatang ternak
Ø Tidak menghancurkan rumah-rumah
peribadatan
Ø Di larang mencincang mayat musuh
Ø Di larang membunuh pemukah Agama
Ø Tidak melampaui batas
Peperangan bisa dihentikan dengan
upaya-upaya untuk segera memberhentikan peperangan. Perhentian peperangna bisa
terjadi dengan berbagai kemungkinan antara lain:
Ø Perang bisa di hentikan ketika
tercapainya tujuan perang
Ø Peperangan dihentikan dengan adanya
perjanjian damai. Sedangkan perjanjian dapat dibatalkan apabila musuh menghianati
janji yang telah dibuat dan disetujui.
c. Siyasah Dauliyyah
Siyasah
Maliyah ialah siyasah yang mengatur tentang
pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik Negara.
Pengaturan dalam siyasah maliyah di
orientasikan untuk mengatur kemashlahatan masyarakat. Di dalam siyasah maliyah
diantaranya mengatur hubungan dengan masyarakat yang menyangkut harta. Konsep
tentang sumber-sumber pemasukan dan kaidah-kaidah dalam pembelanjaan keuangan
Negara ini merupakan salah satu butir pemikiran fuqaha' yang cukup penting.
Dalam buku Al-Siyasah, Ibnu Taimiyah
banyak menyoroti tentang perekonomian negara yang secara gamblang membahas
tentang sumber pemasukan dan pendistribusian keuangan negara. Menurutnya,
sumber keuangan negara terdiri dari zakat, ghanimah, dan fai'. Sumber-sumber
lainnya yang tidak termasuk kategori zakat
dan ghanimah, dimasukkan dalam
istilah fai'. Sedangkan prinsip dalam pembelanjaan keuangan negara berpijak
pada skala prioritas menurut tingkat kemaslahatan yang paling tinggi bagi
rakyat, yang alokasinya diberikan dalam bentuk gaji, subsidi, pembangunan, dan
lain-lain.
Berbeda dengan pandangan Ibnu
Taimiyah diatas, pandangan al-Mawardi relatif lebih detail dan operasional.
Bagi al-Mawardi, sumber-sumber pemasukan keuangan negara sangat beragam, baik
yang bersifat normatif seperti zakat,
ghanimah, dan fai', maupun yang ijtihadi, seperti jizyah, kharaj, 'usyr dan lain-lain. Pemaparan yang operasional
terlihat dalam penjelasan al-Mawardi bahwa seluruh kegiatan pemasukan dan
pembelanjaan keuangan Negara dilakukan dengan sistem pengadministrasian (diwan) yang ketat dalam hubungannya
dengan kedudukan bait al-mal. Menurutnya, adminitrasi negara terdiri dari empat
bagian, yaitu bagian yang mengurusi data diri tentara dan besaran gajinya,
bagian pencatatan wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaan negara Islam,
bagian pencatatan pegawai negara dan bagian pencatatan bait al'mal.
Pengaturan harta dalam Siyasah
Maliyah mengacu pada prinsip-prinsip yang digali dari Al-Qur'an dan Hadits.
Prinsip-prinsip tersebut adalah;
1)
Prinsip tauhid dan isti'mar, yaitu pandangan bahwa hanya
Allah yang menciptakan alam semesta dan disediakan untuk manusia
2)
Prinsip distribusi rizki, yaitu pandangan bahwa harta
kekayaan adalah rizki dari Allah.
3)
Prinsip mendahulukan kemaslatratan umum, yaitu pandangan
harta kakayan itu hakikatnya milik Allah.
2.
Kepemimpinan dalam siyasah
Pada masterpiece-nya yang bertitel Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi
menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah)
dibentuk untuk tujuan menjaga agama dan mengatur persoalan dunia. Karena
itulah, bagi al-Mawardi membentuk sebuah pemerintahan merupakan sesuatu yang
wajib fardlu kifayah secara syara’ dan tidak hanya secara rasional.
Kepemimpinan dalam Negara menurut
para ulama berpendapat bahwa khalifah atau kepala Negara haruslah dari suku
quraisy. Selama berabad-abad suku Quraisy adalah suku terpilih di antara bangsa
Arab dan non Arab. Hadits yang menyatakan hak kepemimpinan suku Quraisy itu
adalah sebagai berikut:
لاَ يَزَالُ هَذَاالأَمْرُفِى قُرَيْشٍ مَا بَقِرَ مِنْهُمْ
اِثْنَانِ
“Pemerintahan
itu masih harus dipegang oleh orang Quraisy walaupun hanya tinggal dua orang.’’(H.R. Bukhari)
Dalam sejarah penguasa yang menyebut
dirinya sebagai khalifah dan ia bukan dari sukun Quraisy tidak pernah diakui
keberadaannya. Khalifah seperti itu menurut para ulama bukanlah khalifah dala
arti kepala Negara yang disebut al-Imamat. Kata-kata khalifah dalam al-Quran
lebih menunjukkan kepada fungsi manusia secara keseluruhan dari pada seorang
kepala Negara. Kata khalifah sebagai kepala Negara adalah kepala Negara
pengganti Nabi di dalam memelihra agama dan mengatur keduniawian. Dia adalah
manusia biasa yang dipercaya ummat karena baik dalam menjalankan agamanya,
bersifat adil seperti yang tampak pada pribadi Abu Bakar dan khalifah setelahnya.
Para ulama ahlussunnah menyamakan
pengertian imamah dan khlifah. Karena keduannya lebih mendahulukan
masalah-masalah agama dan memelihara agama dari pada duniawi. Sedangkan
dikalangan syiah imam ialah shahibul hak as syar’I yang didalam undang-undang
modern dikatakan de jure baik yang langsung memerintah ataupun tidak. Adapun
lafadz khalifah, mula-mula menunjukkan kepada yang mempunyai kekuasaan dalam
kenyataan, walaupun tidak berhak, yang pada masa sekarang disebut de facto.
Al-Mawardi menyebutkan dua hak bagi
imamah, yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. Adapun ketentuan bagi
seseorang untuk menjadi pemimpin, menurut al-Mawardi harus memenuhi tujuh
syarat yaitu:
1.
Adil yang meliputi segala aspeknya
2.
Berilmu pengetahuan sehingga mampu membuat keputusan yang
tepat (berijtihad) terhadap berbagai peristiwa dan hukum yang timbul.
3.
Sehat indranya, seperti penglihatan, pendengaran, dan
lisannya agar ia mampu mengetahui langsung persoalan yang dihadapi.
4.
Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat. Karena jika cacat,
hal itu akan menghalanginya untuk bergerak dan bertindak dengan cepat
5.
Memiliki kecerdasan yang membuatnya mampu mengatur rakyat
dan mengelola kepentingan publik (al-mashlahah).
6.
Keberanian dan ketegasan sehingga mampu melindungi pihak
yang lemah dan menghadapi musuh.
7.
Keturunan dari suku Quraisy, berdasarkan hadis Para pemimpin
berasal dari Quraisy.
Ibnu Khaldun juga menguraikan
syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitab Muqaddimah-nya. Syarat-syarat
itu adalah.
1.
Pengetahuan tentang hukum-hukum Tuhan dan dapat menerapkan
dan menguasai hukum tersebut
2.
Keadilan
3.
Keseimbangan (Capability)
4.
Sehat jasmani dan rohani
5.
Keturunann quraisy
Al-Mawardi menjelaskan bahwa imamah
merupakan hal yang wajib dalam umat Islam berdasarkan Ijma’. Sedangkan alasan
yang menjadikan wajibnya imamah tersebut, menurut al-Mawardi terdapat dua
pendapat di kalangan umat Islam, yakni sebagian mengemukakan wajib dengan akal
(rasio). Akal memandang kewajiban imamah ini untuk keselamatan manusia dari
tindakan zalim pertikaian (tanazu‘) dan permusuhan (takhasum). Segolongan yang
lain berpendapat bahwa kewajiban imamah dengan alasan syar‘i karena seorang
imam bertugas untuk menegakkan urusan-urusan syari’ah (umur al- syari‘ah).
3. Kaidah Ahkam dalam Al-Nadhariyah
Siyasah.
Seperti diketahui bahwa fiqih
siyasah adalah hukum Islam yang objek bahasannya tentang kekuasaan. Apabila
disederhanakan, Fiqih siyasah meliputi hukum tata Negara, administrasi Negara,
hukum internasional, dan hukum ekonomi. Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqih
siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya
sebagai penguasa yang konkrit di dalam ruang lingkup satu negara atau
antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun
internasional.
Berikut beberapa kaidah fiqih di
bidang fiqih siyasah yang dianggap penting untuk diketahui:
تَصَرُّفُ
اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَة
“Kebijakan seorang pemimpin
terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Memperkuat kaidah ini, apa yang dikatakan
oleh Umar bin Khatab yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur:
“Sungguh aku menempatkan diri dalam
mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku
membutuhkan aku mengambil daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya,
dan jika aku berkecukupan aku menjauhinya”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang
pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti
keinginan hawa nafsunya dan keinginan keluarga atau kelompoknya. Kaidah ini
juga dikuatkan oleh surat An-Nisa ayat 58.
Banyak contoh yang berhubungan
dengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakan yang maslahat dan manfaat bagi
rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan
dinilai atau dievaluasi kemejuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan
mafsadah dan memudaratkan rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi.
Dalam upaya-upaya pembangunan misalnya, membuat irigasi kepada petani, membuka
lapangan kerja yang padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga lingkungan,
mengangkat pegawai-pegawai yang amanah dan professional, dan lain sebagainya.
الخِيَانَةُ لاَ تَتَجَزَّأُ
“Perbuatan
khianat itu tidak terbagi-bagi”
Apabila seseorang tidak
melaksanakan atau khianat terhadap salah satu amanah yang dibebankan kepadanya,
maka ia harus dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.
Contohnya, seorang kepala daerah
memiliki banyak amanah yang dibebankan kepadanya, baik tentang keuangan,
kepegawaian, maupun tentang kebijakan yang arif dan bijaksana. Apabila ia
menyalahgunakan wewenangnya, misalnya dibidang keuangan dengan melakukan
korupsi, maka ia harus di hukum dan dipecat. Artinya seluruh amanah lain yang
dibebankan kepadanya, karena jabatannya itu menjadi lepas semuanya. Sebab
melanggar salah satunya berarti melanggar keseluruhannya.
B.
Siyasah Politik
Politik
yang dalam Bahasa Arab disebut “Siyasah”. Secara harfiyahnya dapat dimaksudkan sebagai
mengurus, mengendali atau memimpin sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa-sallam:
كَانُوْا بَنُوْا اِسْرَائِلَ يَسُوْيُهُمْ
اَنْبَيَاءُ هُمْ.
“Adapun
Bani Israil dipimpin oleh para nabi mereka”
Secara syarie pula politik (siyasah) diertikan sebagai mengelola segala kepentingan rakyat terutamanya dalam ruang yang melingkupi negara atau masyarakat. Ia dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat menjamin terealisasinya kemaslahatan umum dan menghindarkan segala macam kerugian dengan jalan yang tidak melanggar syariat Islamiyah melalui kaedah-kaedah asasinya, sekalipun tidak sejalan dengan pendapat para tokoh mujtahid.
Secara syarie pula politik (siyasah) diertikan sebagai mengelola segala kepentingan rakyat terutamanya dalam ruang yang melingkupi negara atau masyarakat. Ia dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat menjamin terealisasinya kemaslahatan umum dan menghindarkan segala macam kerugian dengan jalan yang tidak melanggar syariat Islamiyah melalui kaedah-kaedah asasinya, sekalipun tidak sejalan dengan pendapat para tokoh mujtahid.
Termasuk
yang dimasukkan ke bidang politik (, selok-belok siyasah) ialah hukum ahkam
(juga perundangan) pemerintah, pengadilan kementerian, lembaga-lembaga
pemerintah, urusan ketenteraan (termasuk kepolisan) dan sebagainya.
Antara
seruan dakwah yang diperjuangkan dalam gerakan Ikhwanul Muslimin ialah
berpolitik atau bersiyasah. Politik adalah antara sasaran dan tujun utama dalam
pertubuhan ini. Malangnya kegopohan, kerakusan dan ditambah dengan kemuflisan
tokoh mereka dalam ilmu-ilmu siyasah as-Syariyah dan asyik mempromosikan jenama
politik masing-masing, ianya telah memberikan kesan yang negatif kepada
pertubuhan ini dan kepada semua gerakan-gerakan yang pro Ikhwanul Muslimin di
Mesir yang menjadi kubu gerakan ini dan di negara-negara yang lainnya. Kegiatan
politik tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin pula telah dicemari dengan berbagai-bagai
bentuk bid’ah yang disangka Islami, sama ada bid’ah ala Khawarij, neo
Muktazilah atau sekular. Akibatnya, selain menimbulkan perpecahan ia juga
memunculkan keganasan diberbagai-bagai negara, sama ada negara Islam atau
negara kuffar.
Antara
tokoh-tokoh mereka yang mencampur-adukkan antara siyasah as-syariyah (siyasah
Islamiyah) dengan siyasah taghutiyah ialah Yusuf al-Qaradhawi yang meyamakan
Islam dengan demokrasi, Muhammad al-Gahazali yang menganggap siyasah
Isytirakiyah (sosialis) itu Islam dan Islam itu adalah sosialis dan laungan
Hasan al-Bana yang menjadikan pemikiran sufisme dan ekonomi kapitalisme sebagai
dasar pentarbiaan siyasah yang di perjuangkan.
para
imam terdahulu. Kerana kebajikan politik adalah usaha untuk mengwujudkan
kepentingan umum (rakyat) yang tidak ditetapkan secara khusus oleh agama,
sebaliknya hanya diberikan pendoman secara umum. Contohnya, penulisan al-Quran
dalam satu mushaf pada masa Khalifatur Rasyidin. Semua catitan ayat-ayat
al-Quran lainnya dibakar setelah mushaf sempurna ditulis. Perkara ini dilakukan
berdasarkan Menurut hukum syara dan kesepakatan ahli limu, bahawa para pemimpin
(Ulil Amri) yang mampu berijtihad untuk melakukan kebajikan politik (siyasah
syariah) tidak terikat pada pendapat prinsip kepentingan umum yang tidak
melanggar hukum hukum syarah.
Ibnu
Nujaim
rahimahullah berkata:
“Politik
(siyasah) secara syarie atau akli (akal), disepakati wajib hukumnya”
Ini bermakna semua orang yang beriman terlibat dalam masalah siyasah. Lantaran masalah kehidupan manusia tidak akan berjalan dengan teratur tanpa adanya siyasah, pemimpin dan kepimpinan, sama ada pemimpin tersebut adil atau zalim, maka ada kebenarannya apa yang terungkap di dalam sebuah kata-kata hikmah yang telah menyebutkan:
Ini bermakna semua orang yang beriman terlibat dalam masalah siyasah. Lantaran masalah kehidupan manusia tidak akan berjalan dengan teratur tanpa adanya siyasah, pemimpin dan kepimpinan, sama ada pemimpin tersebut adil atau zalim, maka ada kebenarannya apa yang terungkap di dalam sebuah kata-kata hikmah yang telah menyebutkan:
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Siyasah berasal dari kata ساس، يسوس ،سياسة (mengatur, mengendalikan, mengurus, atau
membuat keputusan), atau ساس
القوم (mengatur kaum, memerintah dan
memimpinnya). Oleh karena itu, berdasarkan pengertian bahasa siyasah berarti
pemerintahan, pengambilan keputusan, pengurusan, pengawasan
Siyasah dibedakan menjadi tiga
yaitu:
1. Siyasah Dusturiyyah, adalah siyasah yang mengatur
hubungan warga Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan warga Negara dan
lembaga Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu Negara.
2. Siyasah Dauliyyah,
ialah siyasah yang mengatur antara warga Negara dengan lembaga Negara dari
Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara dari Negara lain.
3. Siyasah Maliyyah,
ialah siyasah yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran
uang milik Negara.
B.
Saran
Dalam pembahasan makalah ini penulis
hanya membahas seputar hukum filsafat
hukum siyasah dan siyasah politik. Maka diharapkan para pembaca agar membahas
lebih khusus lagi masalah hukum siyasah dan siyasah politik. Semoga dengan
adanya makalah ini keilmuan kita semakin bertambah dan kita mengaplikasinya
dalam kehidupan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar